Itulah satu dari beberapa segelintir
pertanyaan yang sering kita tanyakan pada diri sendiri. Pernahkah anda
mengamati seorang anak, katakanlah usia 2 atau 3 tahun yang sedang
belajar? Anda mungkin akan berkata bahwa anak dalam usia ini tidak
pernah belajar, yang mereka lakukan adalah bermain dan bermain sepanjang
hari. Tepat sekali, itulah kata yang benar untuk merujuk pada proses
belajar yang sesungguhnya. Dan bagaimana cara mereka belajar… oops ….
bermain?
Mereka menggunakan semua pancaindra mereka. Mereka bermain dengan
menggunakan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan
pengecapan secara bersamaan.
Namun, apakah yang terjadi saat mereka
masuk SD? pernahkan anda menemukan murid SD yang belajar sambil bermain?
tentu tidak. Yang terjadi dikelas adalah murid duduk manis dan diam.
Sedangkan guru berdiri di depan kelas menjelaskan materi pelajaran.
Tidak ada lagi suasana bermain yang menyenangkan. Komunikasi hanya
berlangsung satu arah-guru mengajar dan murid belajar. Akibatnya rasa jenuh
pun datang, apalagi mulai beranjak di SMA rasa galau belajar semakin
kronis karna sudah 9 tahun belajar dengan sistem tersebut.
Ada banyak faktor yang berperan dalam
menentukan keberhasilan proses belajar. Hanya sayangnya selama ini orang
kurang menyadari hal ini. Dari sistem pembelajaran selama ini, yang
selalu dituntut dari murid adalah bahwa mereka harus bisa belajar dengan
baik dan mendapatkan nilai yang baik. Bila ternyata hasil belajarnya
kurang maksimal, biasanya yang disalahkan adalah si anak atau murid.
Mereka dianggap kurang serius atau kurang tekun belajar.
Faktor dominan yang menentukan keberhasilan proses belajar seperti dikatakan dalam buku “Born to be a Genius” karya Adi W. Gunawan
adalah dengan mengenal dan memahami bahwa setiap individu adalah unik
dengan gaya belajar yang berbeda satu dengan yang lain. Tidak ada gaya
belajar yang lebih unggul dari gaya belajar yang lainnya. Semua sama
uniknya dan semua sama berharganya. Kesulitan yang timbul selama ini
lebih disebabkan oleh gaya mengajar yang tidak sesuai dengan gaya
belajar. Dan yang lebih parah lagi adalah kalau anak sendiri tidak
mengenal gaya belajar mereka.
Kalau kita perhatikan yang terjadi di
dalam kelas, selain komunikasi yang hanya satu arah, di sana juga
terjadi ketidakcocokan antara gaya mengajar dan gaya belajar. Guru
cenderung hanya menggunakan satu cara saja dalam mengajar, yaitu gaya
visual. Guru mengajar dengan menggunakan media papan tulis (visual) dan
mengajar dengan menggunakan buku (visual). Murid belajar dengan
menggunakan buku (visual), mencatat (visual), mengerjakan tugas secara
tertulis (visual), dan mengerjakan tes juga secara tertulis (visual).
Karena hanya menggunakan satu gaya belajar saja, akibatnya timbul
masalah.
0 komentar:
Posting Komentar